Sujud Sahwi Dianjurkan dalam Lima Kondisi Ini
Sujud sahwi sunnah dilakukan ketika seseorang dalam shalatnya
melakukan salah satu dari lima hal.
Pertama, ketika meninggalkan sunnah ab’ad. Sunnah ab’ad dalam shalat
meliputi qunut, tasyahud awal, shalawat pada Nabi pada saat tahiyyat, shalawat
pada keluarga Nabi pada saat tahiyyat akhir, dan duduk tasyahud awal. Ketika
seseorang meninggalkan salah satu dari berbagai macam sunnah ab’ad tersebut
maka ia disunnahkan melaksanakan sujud sahwi.
Kedua, lupa melakukan sesuatu yang membatalkan shalat bila dilakukan
dengan sengaja, seperti seseorang lupa memperpanjang bacaan dalam i’tidal dan
duduk di antara dua sujud. Sebab dua rukun ini tergolong rukun qashir yang
tidak boleh dipanjangkan.
Ketiga, memindah rukun qauli (ucapan) bukan pada
tempatnya, sekiranya memindah rukun qauli ini bukan termasuk
yang membatalkan shalat. Seperti membaca Al-Fatihah pada saat duduk di antara
dua sujud dan contoh-contoh yang sama.
Keempat, ragu dalam hal meninggalkan sunnah ab’ad. Seperti seseorang
ragu apakah telah melaksanakan qunut atau belum, maka dalam hal ini ia
disunnahkan sujud sahwi, sebab pada hakikatnya (hukum asal) ia dianggap tidak
melaksanakan qunut tersebut.
Kelima, melakukan perbuatan yang berkemungkinan tergolong sebagai
tambahan. Seperti seseorang pada saat melaksanakan shalat isya’ ragu apakah
telah sampai rakaat ketiga atau sudah keempat. Maka dalam keadaan tersebut
hitungannya harus berpijak pada rakaat ketiga, sehingga ia wajib untuk
menambahkan satu rakaat lagi dan sebelum salam ia disunnahkan melaksanakan
sujud sahwi, sebab shalatnya berkemungkinan terdapat tambahan satu rakaat.
Kelima sebab di atas
secara lugas dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami:
وأسبابه خمسة ، أحدها ترك بعض
.ثانيها : سهو ما يبطل عمده فقط . ثالثها : نقل قولي غير مبطل . رابعها : الشك في
ترك بعض معين هل فعله أم لا ؟ خامسها : إيقاع الفعل مع التردد في زيادته
“Sebab kesunnahan
melakukan sujud sahwi ada lima. Yaitu meninggalkan sunnah ab’ad, lupa melakukan
sesuatu yang akan batal jika dilakukan dengan sengaja, memindah rukun qauli
(ucapan) yang tidak sampai membatalkan, ragu dalam meninggalkan sunnah ab’ad,
apakah telah melakukan atau belum dan yang terakhir melakukan suatu
perbuatan dengan adanya kemungkinan hal tersebut tergolong tambahan” (Syekh
Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami, juz 4, hal. 495)
Khusus sebab
disunnahkannya sujud sahwi yang terakhir, Rasulullah menjelaskan hikmah dari
pelaksanaan sujud sahwi dan penambahan rakaat pada permasalahan tersebut:
إذا شك أحدكم فلم يدر أصلى ثلاثا أم
أربعا فليلق الشك وليبن على اليقين وليسجد سجدتين قبل السلام ، فإن كانت صلاته
تامة كانت الركعة ، والسجدتان نافلة له ، وإن كانت ناقصة كانت الركعة تماما للصلاة
، والسجدتان يرغمان أنف الشيطان
“Ketika kalian ragu,
tidak ingat apakah telah melakukan shalat tiga rakaat atau empat rakaat maka
buanglah rasa ragu itu dan lanjutkanlah pada hal yang diyakini (hitungan tiga
rakaat) dan hendaklah melakukan sujud dua kali sebelum salam. Jika shalat
tersebut sempurna maka tambahan satu rakaat dihitung (pahala) baginya dan dua
sujud merupakan kesunnahan baginya, jika ternyata shalatnya memang kurang satu,
maka tambahan satu rakaat menyempurnakan shalatnya dan dua sujud itu untuk
melawan kehendak syaitan.” (HR. Abu Daud)
Namun jika menelisik
berbagai sebab-sebab dianjurkannya melaksanakannya sujud sahwi, lantas apakah
shalat yang dilakukan seseorang ketika melakukan salah satu dari lima sebab di
atas namun ia tidak melaksanakan sujud sahwi dalam shalatnya, apakah lantas hal
tersebut berpengaruh dalam keabsahan shalatnya, dalam arti shalatnya menjadi
batal?
Status sujud sahwi sebagai
sunnah muakkad (kesunnahn yang sangat dianjurkan) tidak lantas menyebabkan
shalat seseorang menjadi batal ketika tidak dilaksanakan. Sebab term kesunnahan
hanya berarti anjuran, bukan suatu kewajiban, sehingga bukan merupakan hal yang
harus dilakukan dan akan membatalkan shalat ketika tidak melaksanakannya.
Berbeda halnya ketika seseorang tidak melaksanakan kewajiban shalat dengan
sengaja atau melakukan hal-hal yang dilarang dalam shalat (mubthilat
as-shalat) dengan sengaja, maka dua hal ini secara umum dapat berpengaruh
dalam keabsahan shalat yang dilakukannya.
Dalam referensi
kitab-kitab Syafi’iyah banyak sekali yang menjelaskan bahwa sujud sahwi hanya
sebatas kesunnahan, misalnya seperti yang terdapat dalam kitab Dalil
al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj:
- سجود السهو سنة) مؤكدة ولو في نافلة
ما عدا صلاة الجنازة وهو دافع لنقص الصلاة
“Sujud Sahwi tergolong
sunnah muakkad, meskipun pada shalat sunnah, selain pada shalat jenazah. Sujud
sahwi ini berfungsi mencegah kekurangan dalam shalat” (Syekh Abu Abdurrahman
Rajab Nuri, Dalil al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, juz 1, hal. 129)
Bahkan Imam Asy-Syafi’i
dalam qaul qadim yang tercantum dalam karya
monumentalnya, al-Um, menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan
sujud sahwi dalam shalat maka tidak wajib mengulang kembali shalatnya, sehingga
shalat yang ia lakukan tetap dihukumi sah dan menggugurkan kewajibannya.
Sebagaimana beliau jelaskan dalam referensi berikut:
ولا أرى بينا أن واجبا على أحد ترك
سجود السهو أن يعود للصلاة
“Aku tidak berpandangan
bahwa wajib bagi orang yang meninggalkan sujud sahwi untuk mengulangi
shalatnya” (Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Um, juz 1, hal. 214)
Berbeda halnya ketika
meninggalkan sujud sahwi diarahkan pada konteks shalat jamaah. Misalnya seperti
ketika imam melaksanakan sujud sahwi, namun makmum tidak mengikuti imam dengan
tidak melaksanakan sujud sahwi bersamaan dengan imamnya, maka dalam keadaan
demikian shalatnya menjadi batal ketika hal tersebut dilakukan dengan sengaja.
Sebab dalam permasalahan ini, batal shalatnya makmum bukan hanya karena ia
tidak melakukan sujud sahwi, tapi lebih karena faktor ia tidak mengikuti
(mutaba’ah) imam yang merupakan salah satu kewajiban dalam shalat jama’ah.
Ketentuan ini sperti yang dijelaskan dalam kitab Kasyifah as-Saja:
فإن سجد إمامه تابعه وجوباً وإن لم
يعرف أنه سها حتى لو اقتصر على سجدة واحدة سجد المأموم أخرى، فإن ترك متابعته
عمداً بطلت صلاته ثم يعيد السجود مسبوق آخر صلاته لأنه محل سجود السهو، وإن لم
يسجد الإمام وسلم المأموم آخر صلاته جبراً لخلل صلاته بسهو إمامه
(Syekh Muhammad an-Nawawi
al-Bantani, Kasyifah as-Saja fi Syarh as-Safinah an-Naja, juz 1,
hal. 83)
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tidak melaksanakan sujud sahwi bukan merupakan hal yang
berpengaruh dalam keabsahan shalat, kecuali ketika hal tersebut terjadi pada
shalat jamaah, saat imam melaksanakan sujud sahwi, namun orang yang menjadi
makmum tidak mengikutinya. Maka dalam keadaan tersebut shalatnya menjadi
batal. Wallahu a’lam.
Ustadz Ali Zainal Abidin,
No comments